Bagas Kurnia Prasetyo Hi! I'am Interior Designer @ Ruangarsitek, Senang belajar banyak tentang bisnis & properti. Lover of food, games, words, and cat.

Ikuti saya di:        

Artikel ini dibuat oleh tim konten Ruangarsitek. Jika ingin update referensi tentang desain rumah silahkan ikuti disini ruangarsitek.id.

Rumah Adat Papua

7 min read

Rumah Adat Papua

Papua merupakan wilayah yang ada di ujung timur Indonesia. Daerah ini memiliki banyak suku serta kelompok-kelompok adat.

Layaknya suku-suku dan wilayah lain di Indonesia, Papua juga memiliki rumah adat. Salah satu rumah adat Papua yang paling terkenal adalah Honai. Ternyata di sana masih ada banyak jenis rumah adat lainnya, lho.

Meskipun punya banyak jenis, rumah adat di ujung timur Indonesia ini mendekati kepunahan. Modernisasi menjadi salah satu faktor terbesar yang membuat jumlah rumah adat di Papua berkurang drastis.

5 Ragam Rumah Adat Papua dan Filosofinya

Jumlah rumah adat yang diketahui ada lima jenis. Masing-masing rumah tersebut memiliki filosofinya masing-masing.

Di bawah ini ada 5 rumah adat di Papua dan penjelasannya khusus untuk kamu. Yuk, simak sampai akhir!

1. Rumah Adat Papua Honai

Rumah Adat Papua Honai

Pernahkah kamu melihat rumah adat dari Papua yang berbentuk seperti jamur?

Rumah ini disebut sebagai Honai, yang biasa dijumpai di wilayah pegunungan bagian tengah Pulau Papua.

Dilihat dari bentuknya, rumah Honai begitu sederhana. Bahan yang digunakan untuk membangunnya hanyalah kerangka kayu, kemudian dilapisi dengan jerami.

Dinding rumah dibuat melingkar dan tidak terlalu tinggi. Namun, bagian atap dibuat lebih tinggi dibandingkan dengan dinding rumah.

Bahan utama yang dipakai untuk membuat atap masih sama, yaitu rangka kayu dan jerami. Dengan bentuk seperti ini, udara dingin di pegunungan Papua tidak dapat menembus ke dalam rumah.

Rumah adat masyarakat di Papua ini berbentuk sederhana dan terbuat dari bahan yang mudah didapat pula.

Hal ini tentu memiliki alasan, yakni dahulu suku-suku di Papua hidup dengan cara berpindah-pindah dari satu titik ke titik lainnya.

Untuk mempermudah mereka, maka rumah dibuat dengan cara sederhana.

Bangunan rumah Honai memiliki tinggi sekitar 2,5 meter. Uniknya, hunian ini terdiri dari dua lantai dengan fungsi yang berbeda.

Lantai atas biasanya digunakan untuk tidur dan beristirahat. Sedangkan di lantai bawah dipakai untuk aktivitas sehari-hari, seperti makan, berkumpul, dan bersantai.

Di bagian tengah rumah pun terdapat perapian untuk menghangatkan tubuh ketika malam tiba.

Fungsi dan Filosofi Rumah Honai

Rumah Honai bukan hanya digunakan untuk tempat tinggal saja. Masyarakat Papua juga menggunakan rumah ini untuk tempat penyimpanan senjata serta perlengkapan untuk berburu dan berperang.

Rumah ini pun berguna sebagai sekolah pertama bagi anak-anak Papua sebelum beranjak dewasa dan terjun ke dunia yang sesungguhnya.

Rumah Honai hanya boleh ditinggali oleh seluruh anggota keluarga laki-laki. Sedangkan perempuan harus tinggal di rumah terpisah yang disebut Ebei.

Rumah Ebei ini akan dijelaskan pada poin selanjutnya. Jumlah orang yang bisa tinggal di dalamnya juga terbatas karena ukurannya kecil. Tak heran jika satu keluarga bisa memiliki lebih dari satu rumah Honai.

Selain memiliki fungsi tersebut, rumah Honai juga mengandung nilai filosofi yang tinggi bagi masyarakat adat Papua.

Nilai filosofi yang pertama adalah menjaga budaya yang diwariskan oleh leluhur. Hal ini tercermin dalam rumah-rumah yang dibangun oleh masyarakat Papua hingga saat ini masih berupa Honai.

Nilai filosofi kedua adalah menjaga kekompakan dan keharmonisan dalam sebuah keluarga.

Seperti yang sudah disebutkan, masyarakat Papua memilih untuk tetap tinggal bersama keluarga besar mereka kendati sudah menikah atau memiliki keluarga sendiri.

2. Rumah Adat Wamai

Rumah Adat Wamai

Keluarga masyarakat adat Papua biasanya tinggal secara berkelompok dengan keluarga mereka di beberapa rumah berbeda.

Letak rumah ini biasanya berdekatan. Kamu tentu masih ingat, bukan, bahwa rumah Honai dikhususkan bagi kaum laki-laki saja?

Jika demikian, otomatis mereka memerlukan rumah lagi untuk anggota keluarga perempuan dan hewan ternak.

Hewan yang umumnya dijadikan sebagai ternak oleh masyarakat Papua adalah babi. Selain babi, ada pula sebagian kecil masyarakat yang memelihara ayam atau anjing sebagai ternak.

Di sana, hewan ternak merupakan harta paling berharga dan harus dijaga. Oleh karena itu, masyarakat di sana membuat sebuah rumah khusus untuk hewan ternak yang diberi nama rumah Wamai.

Nah, dapat disimpulkan bahwa secara filosofis, sesungguhnya pembangunan rumah Wamai untuk melengkapi bangunan rumah adat di Papua adalah banyaknya hewan ternak yang sangat berharga bagi masyarakatnya.

Secara fisik, kamu bisa membedakan antara rumah Honai dengan rumah Wamai. Pertama, perhatikan bagian atapnya.

Rumah Honai memiliki atap dengan bentuk kerucut yang tidak terlalu lancip. Sedangkan rumah Wamai punya atap yang lebih runcing. Selain itu, rumah Wamai juga bisa diubah bentuknya sesuai dengan kebutuhan.

3. Rumah Adat Ebei

Rumah Adat Ebai

Jenis rumah ketiga yang dimiliki oleh masyarakat adat di Papua adalah Ebei.

Rumah ini juga biasanya terletak berdekatan dengan Honai, namun penghuninya adalah kaum perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang masih gadis.

Anak laki-laki juga tinggal di rumah ini, namun mereka harus pindah ke rumah Honai apabila telah mencapai usia remaja.

Nama rumah Ebei diambil dari dua buah kata, yaitu ebe dan juga ai, keduanya diambil dari bahasa lokal. Ebe sendiri memiliki arti tubuh atau badan, sedangkan ai artinya rumah.

Jadi, dari ketiga rumah yang sudah dibahas, semuanya memiliki akhiran “ai” yang menegaskan makna bahwa nama-nama tersebut adalah rumah bagi masyarakat di pedalaman Papua.

Rumah Ebei memiliki perbedaan bentuk dengan Honai dan juga Wamai. Perbedaan terbesar akan tampak pada bentuk atap.

Rumah Ebei memiliki atap yang bentuknya lebih membulat seperti setengah bola. Berbeda dengan Honai dan Wamai yang memiliki atap berbentuk kerucut.

Perbedaan berikutnya terletak pada ukuran, rumah Ebei cenderung lebih kecil dibandingkan Honai.

Berbicara tentang penataan rumah-rumah adat di Papua, Ebei umumnya ada di samping kanan atau kiri dari Honai.

Meskipun begitu, pintu utama antara kedua rumah sengaja dibuat menghadap ke arah yang berbeda.

Rumah Ebei pun tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal bagi ibu-ibu dan anaknya.

Di sini juga anak-anak perempuan mendapatkan banyak ilmu untuk bekal hidup setelah menikah.

Para ibu akan mengajarkan berbagai macam hal, mulai dari memasak, mengurus anak, hingga melayani suami. Selain itu, para wanita juga diajarkan beberapa kerajinan tangan seperti menyulam.

Seluruh rumah adat Honai, termasuk rumah Ebei memiliki filosofi yang penting, yakni sebagai simbol dari kepribadian serta martabat seluruh penduduk suku yang harus dijaga oleh seluruh keturunan selamanya.

4. Rumah Adat Kariwari

Rumah Adat Kariwari

Rumah yang satu ini punya bentuk yang sangat jauh berbeda dengan Honai.

Umumnya, Honai memiliki bentuk yang sederhana dan terbuat dari bahan-bahan sederhana pula. Namun, lain halnya dengan rumah adat Kariwari yang bentuknya lebih kompleks.

Kariwari sendiri dimiliki oleh suku bernama Tobati Enggros. Mereka mendiami daerah yang ada di sekitar wilayah Danau Sentani, Papua Timur.

Rumah yang satu ini memiliki fungsi atau kegunaan yang sama seperti Honai, yaitu sebagai tempat tinggal kaum laki-laki.

Selain tinggal, anak-anak juga diajari berbagai keterampilan, yaitu cara mencari makanan, serta mencukupi kebutuhan hidup.

Untuk menjadi salah satu anggota keluarga yang mendiami rumah Kariwari, seorang anak laki-laki harus beranjak remaja terlebih dahulu.

Umumnya, mereka akan pindah ke Kariwari setelah berusia 12 atau 13 tahun.

Karena sudah dibekali dengan berbagai macam ilmu dan keterampilan, laki-laki dari suku satu ini dikenal sebagai sosok yang bertanggung jawab dan pekerja keras.

Arsitektur Rumah Adat Kariwari

Mari kita bahas tentang arsitektur rumah Kariwari. Hunian yang satu ini punya bentuk yang cukup unik, yaitu segi delapan. Bentuk ini dipilih supaya rumah dapat berdiri dengan kokoh.

Seperti Honai, dinding rumah dibuat pendek, kemudian atap dibuat jauh lebih tinggi. Atap rumah Kariwari sendiri bentuknya seperti limas segi delapan dan dibuat bersusun.

Bentuk rumah seperti ini bertujuan untuk melindungi seluruh penghuni rumah dari angin kencang yang berhembus di sekitar Danau Sentani ini.

Tinggi rumah Kariwari beragam, mulai dari 20 hingga 30 meter, kemudian rumah ini dibagi lagi menjadi 2 atau 3 lantai.

Anak laki-laki belajar tentang peperangan, berburu, mencari nafkah, tanggung jawab dalam berumah tangga, serta banyak ilmu lainnya di lantai pertama atau yang paling bawah.

Lantai kedua di rumah Kariwari dipakai sebagai ruangan khusus kepala suku. Sedangkan lantai ketiga difungsikan sebagai tempat ibadah atau ruangan untuk meditasi.

Bangunan rumah Kariwari terkesan lebih modern dibandingkan dengan rumah Honai. Hal ini bisa dilihat dari material yang dipakai untuk membangunnya. Rumah Kariwari dibuat dari kayu besi, baik dinding maupun lantainya.

Kayu jenis ini dipilih karena memiliki karakteristik yang kokoh. Sedangkan atap rumah Kariwari dibuat dari daun-daunan. Salah satu yang paling banyak dipakai adalah daun sagu.

5. Rumah Adat Rumsram

Rumah Adat Rumsram

 

Nama rumah adat Papua yang terakhir datang dari Suku Biak. Suku ini mendiami wilayah Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua.

Bentuk rumah ini jauh berbeda dengan rumah adat di Papua yang sudah dibahas sebelumnya, lho. Rumah adat Rumsram berbentuk seperti rumah panggung dengan bagian tiang-tiang sebagai penopang.

Wilayah Biak sendiri terletak di dekat pantai, oleh sebab itu bentuk rumah di sana berbeda dengan rumah Honai yang ada di wilayah pegunungan.

Unsur pesisir pun semakin kuat pada rumah Rumsram yang terlihat dari bagian atapnya. Jika dibuat sketsa, bentuk atap ini akan tampak seperti perahu yang terbalik.

Secara keseluruhan, rumah Rumsram memiliki ketinggian 6 hingga 8 meter diukur dari dasar tiang sampai ke atap. Karena berbentuk panggung, jadi rumah ini memiliki 2 lantai.

Lantai yang pertama dibiarkan tanpa dinding dan lantai tanah. Bagian inilah yang dipakai untuk menjalankan berbagai macam aktivitas sehari-hari.

Sedangkan lantai kedua diberi dinding berupa bambu yang telah dicacah sebelumnya. Bahan yang dipakai untuk membuat lantai adalah kulit kayu.

Sedangkan atap rumah Rumsram dibuat dari daun sagu. Lantai kedua ini digunakan untuk beristirahat. Rumah Rumsram juga memiliki beberapa jendela agar sirkulasi udara lancar.

Hunian ini pun dikhususkan bagi kaum laki-laki, sehingga para wanita dilarang memasukinya.

Fungsi rumah adat ini adalah sebagai sekolah untuk mengajarkan anak laki-laki Suku Biak Numfor tentang berbagai keahlian dalam hidup.

Beberapa hal yang diajarkan di dalam rumah ini adalah cara berperang, mencari ikan, dan membuat perahu.

Namun, seiring berkembangnya zaman, rumah Rumsram tidak lagi menggunakan bahan-bahan alami untuk membangunnya. Sehingga, akan sangat jarang menemui rumah Rumsram yang asli dengan sentuhan bahan-bahan alami.

Rumah Adat Papua yang Hampir Punah

Rumah Adat Papua yang Hampir Punah

Rumah Suku Korowai

Rumah Suku Korowai
Indoglobaltours.com

 

Rumah adat dari Papua yang kini sudah sangat jarang ditemui adalah rumah pohon milik suku Korowai.

Masyarakat suku ini tinggal di pedalaman hutan dan berdekatan dengan habitat binatang buas.

Sejak dahulu, masyarakat adat di suku Korowai memang sudah membangun rumah yang jaraknya jauh dari tanah untuk menghindari serangan binatang buas.

Selain binatang, masyarakat Korowai juga percaya akan keberadaan Laleo, sosok roh jahat yang berbahaya.

Salah satu cara untuk menghindar dari ancaman roh tersebut adalah membangun rumah di atas pohon yang tinggi.

Roh jahat atau iblis ini memiliki bentuk seperti orang yang berjalan-jalan di malam hari. Dia akan memangsa siapa saja yang ditemuinya.

Arsitektur Rumah Adat Suku Korowai

Ketinggian rumah adat Korowai bisa mencapai 15 hingga 50 meter di atas permukaan tanah. Apakah kamu bisa membayangkan betapa tingginya rumah tersebut?

Butuh perjuangan untuk turun serta menaiki rumah. Namun, masyarakat di sana sudah terbiasa dengan hal tersebut, sehingga tak menjadi masalah besar.

Dibutuhkan pohon yang benar-benar kokoh untuk menopang rumah dan seluruh orang yang tinggal di dalamnya. Oleh sebab itu, masyarakat Korowai tidak sembarangan dalam memilih pohon yang akan mereka tinggali.

Batang pohon tersebut berfungsi layaknya fondasi bagi rumah masyarakat Korowai.

Kemudian ujung pohonnya dipotong dan dijadikan sebagai rumah. Lantai dan dinding dibuat dari kayu beserta dengan kulitnya, sedangkan atapnya dibuat dari dedaunan.

Orang-orang suku Korowai juga tidak menggunakan paku untuk membangun rumah. Mereka memilih menggunakan akar pohon untuk mengikat seluruh komponen penyusun rumah.

Penggunaan akar tanaman ini dinilai lebih kuat dibandingkan dengan paku yang mudah berkarat dan membuat pohon rusak.

Sebelum mulai membangun sebuah rumah, Suku Korowai akan melakukan upacara adat terlebih dahulu untuk melancarkan semua prosesnya.

Kemudian dilanjutkan dengan pembersihan ujung pohon dan pembangunan. Umumnya, sebuah rumah pohon akan selesai dalam waktu kurang lebih satu minggu.

Hal-Hal yang Membuat Suku Korowai Terancam Punah

Suku Korowai sangat menutup diri dari dunia luar dan masih memegang erat budaya primitif.

Sayangnya, suku ini terancam akan punah karena kebiasaan buruk yang dilakukan oleh mereka sendiri.

Misalnya, minum minuman keras yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit mematikan.

Di samping itu, kebanyakan masyarakat Korowai juga menyukai budaya seks bebas.

Hal ini meningkatkan jumlah penderita HIV dan menyebabkan angka kematian yang begitu tinggi di sana.

Minimnya pengetahuan dan kepedulian akan kesehatan membuat angka penularan ini semakin sulit untuk dikendalikan.

Padahal Suku Korowai merupakan salah satu bukti keanekaragaman di Indonesia dengan segala budayanya. Saat ini, populasi suku Korowai diperkirakan hanya tersisa sejumlah 3000 orang.

Apakah hanya itu saja alasan rumah ini hampir punah?

Ada beberapa faktor lainnya, faktor ini juga merupakan alasan kuat rumah-rumah adat Papua selain yang disebutkan sebelumnya terancam punah. Faktor tersebut, diantaranya :

1. Modernisasi

Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah modernisasi. Tak sedikit masyarakat Papua yang mulai meninggalkan budaya membangun rumah adat.

Umumnya masyarakat ini berpindah ke wilayah kota dan membuat rumah permanen di sana.

Meskipun tidak berpindah pun, masyarakat Papua yang memilih untuk membangun rumah modern karena lebih nyaman dan aman.

2. Berkurangnya Generasi Muda

Generasi muda masyarakat Papua juga banyak yang berpindah ke luar pulau untuk menempuh pendidikan tinggi dan bekerja.

Hal ini menyebabkan generasi penerus di wilayah Papua menjadi berkurang jumlahnya. Tak heran jika rumah adat semakin berkurang jumlahnya karena tidak banyak anak muda yang tetap tinggal di daerah asal.

Penjelasan di atas hanya menggambarkan sebagian kecil rumah adat Papua. Pulau yang ada di ujung timur Indonesia ini memiliki ratusan suku dengan berbagai macam rumah adat. Hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia sangat kaya akan suku dan budaya.

Baca Juga :

Bagas Kurnia Prasetyo Hi! I'am Interior Designer @ Ruangarsitek, Senang belajar banyak tentang bisnis & properti. Lover of food, games, words, and cat.
Artikel Lainnya :
                                 
       

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *